Tags

ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS

A. DASAR PERTIMBANGAN MENAPA MEMILIH ARBITRASE

Proses penyelesaian sengketa secara konvensional dengan cara Litigasi di Pengadilan dirasakan para pelaku bisnis kurang efektif dan efisien, hal ini karena dianggap dunia peradilan belum melaksanakan tugas sebagaimana mestinya, proses sengketa memakan waktu yang panjang karena adanya proses pemeriksaaan banding, kasasi dan peninjauan kembali, bersifat formalistic dan sangat teknis, dapat menimbulkan permusuhan diantara para pihak yang bersengketa, cenderung menimbulkan masalah baru, biaya tinggi bahkan akhirnya kemenangan perkara seringkali bersifat hanya diatas kertas, sehingga para pelaku bisnis mencari cara-cara lain yang dirasakan dapat merespons kepentingan mereka dalam menyelesaikan sengketa bisnis yang mereka hadapi melalui alternative penyelesaian sengketa diluar proses litigasi di pengadilan.

Penggunaan lembaga arbitrase sebagai pilihan tempat penyelesaian sengketa bisnis pada umumnya lebih didasarkan pada pertimbangan ekonomis daripada pertimbangan yuridis, hal ini karena proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase menurut kalangan pelaku usaha lebih bersifat menguntungkan dibandingkan dengan proses penyelesaian sengketa melalui lembaga litigasi di Pengadilan.

Keunggulan Arbitrase :

  1. Proses sengketa cepat
  2. Putusan bersifat win win solution
  3. Pemeriksaan bersifat rahasia (confidensial)
  4. Biaya lebih ringan
  5. Bersifat flexible
  6. Tidak bersifat formal
  7. Penyelesaian dilaksanakan secara professional (oleh ahlinya)
  8. Arbitratornya dipilih para pihak
  9. Putusanya bersifat final dan mengikat (final & banding)

Kelemahan Arbitrase :

  1. Untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan membawa ke Badan Arbitrase tidak mudah, kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya melalui arbitrase merupakan unsure yang sangat penting untuk penyelesaian suatu persoalan.
  2. Biasanya arbitrase hanya menangani perkara yang dihadapi perusahaan besar dan bonafide.
  3. Kurangnya unsure penalty.
  4. Kurangnya power lembaga arbitrase untuk menghadirkan saksi, barang bukti, dll.
  5. Kurangnya power dalam hal penegakkan hukum dan eksekusi putusannya.
  6. Kemungkinan timbulnya putusan yang bertentangan antara suatu dengan yang lainnya, karena sistem preseden tidak dianut.
  7. Kualitas putusannya sangat tergantung pada kualitas arbriternya.
  8. Dapat menimbulkan rasa permusuhan/antipasti terhadap pengadilan.
  9. Untuk mempermudah kehendak para pihak yang bersengketa dan membawa ke Badan Arbritase tidak mudah, kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya melalui arbitrase merupakan unsur yang sangan penting untuk penyelesaian suatu persoalan.

B. LEMBAGA ARBITRASE DAN BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA (BANI)

Menurut pasal 1 angka 8 UU No. 30 tahun 1999 lembaga arbitrase adalah “badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau lembaga arbitrase untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase”.

Jenis lembaga arbitrase ada dua (2):

  1. Arbitrase adhoc (arbitrase volunteer, dibentuk khusus)
  2. Arbitrase institusional (bersifat permanen)

Ciri-ciri lembaga arbitrase institusional yang berbeda dengan Ad Hoc adalah :

  1. Arbitrase institusional sengaja didirikan secara permanen, sedangkan arbitrase Ad Hoc sifatnya sementara dan akan bubar setelah masalah selesai.
  2. Arbitrase institusional sudah ada / sudah berdiri sebelum terhadi suatu perselisihan, sedangkan arbitrase Ad Hoc dibuat setelah terjadinya perselisihan.
  3. Karnea bersifat permanen, arbitrase institusional dibuat lengkap dengan struktur organisasi, tata cara pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan perselisihan yang pada umumnya tercantum dalam anggaran dasar pendirian lembaga tersebut, sedangkan arbitrase ad hoc tidak ada.

Arbitrase institusional ini ada yang bersifat nasional dan ada yang bersifat internasional.

BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) :

BANI didirikan di Jakarta tujuh (7) tahun setelah berlakunya UU No. 14 Tahun 1970 mengenai pokok – pokok kekuasaan kehakiman (LN No. 7 – 1974) yang tepatnya pada tanggal 3 Desember 1977.

C. DASAR HUKUM PERKEMBANGAN ARBITRASE DI INDONESIA DAN RUANG LINGKUPNYA

  1. Pasal II AP UUD 1945, ketentuan Hukum Kolonial masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan diatur oleh dan menurut UUD 1945.
  2. Ketentuan RV masih tetap dipakai sebagai dasar pemeriksaan Arbitrase di Indonesia.
  3. (HIR – Hierziene Indonesich Reglement) adalah kitab Undang – Undang Hukum Acara Perdata bagi gol Bumiputra ps. 377 HIR Jo 705 RBG.
  4. Reglement Op de Burgerlijke Rechts Vordering (RV) (Kitab UU Hukum Perdata bagi gol Eropa / yang dipersamakan) psl 615 – 651.
  5. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU no. 14/1970 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35/1999 tentang ketentuan – ketentuan pokok kekuasaan kehakiman
    “penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (Arbitrase) tetap dibolehkan tetapi putusan arbitrase hanya mempunyai ketentuan EXCENTORIAL setelah memperoleh ijin di pengadilan.
  6. Tanggal 12 Agustus 1999, UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Hukum.

Note :

  • Pasal 377 HIR; bilamana orang bumiputra & timur asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pemisah mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa.
  • Asas kebebasan berkontrak : Psl. 1320 Jo 1338 ayat (1) KUHPerdata.

D. PERJANJIAN ARBITRASE DAN PROSEDURNYA

Perjanjian Arbitrase merupakan suatu bentuk perjanjian yang mensyaratkan harus dibuat secara tertulis, hal ini dapat dilihat dari ketentuan : (pasal 1 butir 3 UU no. 30 Tahun 1999) yang menyebutkan : “Perjanjian Arbitrase adalah merupakan suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbulnya suatu sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”.

Dalam rumusan pasal 1 butir 3 UU No. 30 Tahun 1999 dapat diketahui bahwa perjanjian arbitrase adalah merupakan kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapinya melalui lembaga arbitrase dimana kesepakatan tersebut dapat dibuat para pihak baik sebelum atau setelah timbulnya sengketa, sehingga dakam hukum arbitrase dikenal dua (2) bentuk perjanjian arbitrase, yaitu Pactum de Compromitendo dan Akta Kompromis.

Disamping mengikat (pasal 11 UU No. 30 Tahun 1999), para pihak yang membuat perjanjian arbitrase juga mengikat terhadap lembaga peradilan, hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999;

“Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang terikat dalam perjanjian arbitrase”

Proses Beracara dalam Arbitrase :

Menurut pasal 34 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999; apabila para pihak menyepakati sengketa yang dihadapi akan diselesaikan melalui BANI, maka proses dan prosedurnya sebagai berikut :

  1. Telah ada kesepakatan diantara para pihak bahwa penyelesaian perselisihan yang telah atau akan timbul akan diselesaikan oleh BANI dan menurut prosedur badan arbitrase tersebut.
  2. Pemohon mengajukan permohonan kepada BANI dengan membayar biaya pendaftaran dan biaya administrasi dan biaya persidangan. Menurut ketentuan pasal 77 ayat (1) UU No. 30 tahun 1999 biaya administrasi dan persidangan menjadi tanggung jawab pihak yang kalah. Dengan memperhatikan ketentuan ini, prosedur yang kedua tidak berlaku.
  3. Permohonan akan ditolak paling lama 30 hari jika jelas bahwa penyelesaian perselisihan tersebut bukan kewenangan BANI.
  4. Ketua BANI menyampaikan salinan surat permohonan kepada termohon.
  5. Termohon mengajukan jawaban tertulis paling lama 30 hari sejak diterimanya salinan permohonan.
  6. Ketua BANI mengirim jawaban termohon kepada pemohon, sekaligus.
  7. Kepada kedua belah pihak diperintahkan untuk segera menghadap ke persidangan paling lama 14 hari sejak perintah dikeluarkan.
  8. Jika pemohon tidak hadir dalam persidangan, permohonan arbitrasenya digugurkan.
  9. Jika termohon tidak hadir dan tidak hadir juga setelah dipanggil secara patut untuk kedua kalinya, majelis akan memutuskan perselisihan secara verstek.

E. CARA – CARA PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS

Cara penyelesaian sengketa bisnis yang selama ini kita kenal adalah cara penyelesaian secara yuridis dan non yuridis, dan ada pula yang menyebutnya cara melalui pengadilan (litigasi) dan diluar pengadilan (non litigasi) atau alternative dispute resolution (ADR).

Cara Yuridis dan Non Yuridis ini dikatakan oleh Ronny Hanitiyo Sumitro dengan dirinci lagi dalam beberapa kategori yang kemudian dikelompokkan lagi dalam 6 kelompok sebagai berikut :

  1. Penyelesaian secara sepihak,
  2. Dikelola sendiri,
  3. Pra yuridis,
  4. Yuridis normative,
  5. Yuridis politis,
  6. Penyelesaian secara kekerasan.

Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Non Ligitasi) / Alternative Dispute Resolution (ADR) :

ADR merupakan penyelesaian sengketa yang tidak melalui pengadilan, atau merupakan penyelesaian sengketa alternative. Dalam UU RI No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa alternative penyelesaian sengketa adalah “Lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni peyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli”. ADR merupakan paying yang didalamnya mencakup antara lain Konsiliasi, Negosiasi, Mediasi dan Arbitrase.

  1. Konsiliasi : merupakan suatu penyelesaian dimana para pihak berupaya aktif mencari penyelesaian dengan bantuan pihak ketiga.
  2. Negosiasi / Perundingan / Negotiation : merupakan proses tawar menawar antara pihak – pihak yang bersangkutan dimana masing-masing saling berusaha untuk mencapai titik bersengketa tentang persoalan tertentu yang dipersengketakan.
  3. Mediasi / Penengahan / Mediation : Mediasi dapat merupakan kelanjutan dari proses negosiasi, kedudukan mediator hanya sebagai penengah, dan hanya membantu para pihak untuk mencapai consensus, karena pada prinsipnya para pihak sendirilah yang menentukan putusannya, bukan mediator.

Sumber : Dharliana Ayu [Pengantar Hukum Bisnis] – Dosen Unswagati